Laman

Entri Populer

Minggu, 10 Februari 2013

JPIPArea Kalsel

Mahyudin,Universitas Achmad Yani Banjarmasin

 


TINGKAT KEBERHASILAN OTONOMI DAERAH
PROVINSI KALIMANTAN Selatan
Oleh:
The Jawa Post Institute of Pro Autonomy (JPIP) Area Kalsel[1]
A.     Otonomi Daerah dalam Perspektif JPIP
Program utama JPIP adalah monitoring dan evaluasi (Monev) kemajuan implementasi otonomi daerah. Melalui motto "Tiada Kemajuan Tanpa Kompetisi", JPIP berusaha mendorong persaingan yang sehat di daerah-daerah otonom agar otonomi daerah mencapai hasilnya. Caranya dengan melakukan monev kemajuan daerah secara periodik dan berkesinambungan. Dengan begitu, sisi-sisi negatif otonomi daerah akan tereduksi secara bertahap. Salah satu produk monev yang dilakukan JPIP adalah memberikan penghargaan (reward). Penghargaan diberikan pada daerah yang mencapai skala kemajuan tertentu, sesuai dengan parameter dan indikator yang telah ditetapkan. Penghargaan tersebut diberi nama “Otonomi Award”.
Gambar 1.
Komponen Keberhasilan Otonomi Daerah
Keberhasilan otonomi daerah dalam perpektif JPIP, paling tidak mencakup tiga komponen, yaitu; 1) Kemajuan hasil-hasil pembangunan, 2) Tingkat kepuasan masyarakat, dan 3) Munculnya inovasibaru. Tiga komponen keberhasilan otonomi daerah ini, harus berjalan seiring dan saling mengisi. Inovasi baru pemerintah daerah memungkinkan pembangunan dapat terus berlangsung. Sementara itu, tingkat kepuasan masyarakat mencerminkan bahwa pembangunan yang dilakukan pemerintah daerah telah dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
1.      Hasil Pembangunan
Provinsi Kalimantan Selatan yang termasuk Kawasan Timur Indonesia (KTI) baru berbenah sejak otonomi daerah diberlakukan Tahun 1999. Artinya, secara obyektif  Provinsi Kalimantan Selatan jauh tertinggal dibanding provinsi-provinsi lainnya di Kawasan Barat Indonesia (KBI). Fakta ini menyebabkan penilaian terhadap keberhasilan pembangunan di Provinsi Kalimantan Selatan harus dilihat dari progress (kemajuan). JPIP dalam konteks ini menterjemahkan hasil pembangunan adalah seberapa besar prosentase kemajuan hasil pembangunan dari tahun-tahun sebelumnya. Semakin tinggi prosentase kemajuannya, maka semakin berhasil pula hasil pembangunan yang dilakukan.
2.      Tingkat Kepuasan Masyarakat
Hasil pembangunan harus selaras dengan tingkat kepuasan yang dirasakan masyarakat. Tingginya progress (kemajuan) pembangunan jika tidak dibarengi peningkatan kepuasan masyarakat terhadap hasil-hasil pembangunan, tentu tidak akan banyak bermakna. Persepsi masyarakat tentang kepuasan terhadap kinerja pemerintah daerah berkisar antara 0 – 100, dengan titik tengah 50, yang berarti cukup. Jika di atas 50 (>50), maka hasil-hasil pembangunan memberi manfaat yang besar pada masyarakat. Sebaliknya jika di bawah 50 (<50), maka hasil-hasil pembangunan tidak memberi manfaat yang besar pada masyarakat.
3.      Munculnya Inovasi Baru
Kemajuan hasil pembangunan senantiasa harus selalu meningkat, demikian pula dengan tingkat kepuasan masyarakat. Jika pemerintah daerah tidak menemukan inovasi baru dalam program, proses dan mekanisme pelaksanaan pembangunan, niscaya makna hasil pembangunan akan terus terdegradasi. Artinya inovasi merupakan salah satu komponen penentu untuk menentukan tingkat keberhasilan pembangunan. Inovasi baru juga merupakan dimensi lain dari otonomi daerah, di samping delegasi kewenangan dari pemerintah pusat ke daerah.
Sinergisitas tiga komponen di atas akan memunculkan hasil penilaian yang kredibel, realistis dan faktual terhadap implementasi pelaksanaan otonomi daerah. Di samping itu, ketiga komponen ini akan saling berkontribusi terhadap tingkat keberhasilan implementasiotonomi daerah.
B.      Bagaimana Mengukur Keberhasilan Otonomi Daerah?
Pengukuran keberhasilan otonomi daerah dilakukan JPIP dengan dua tahap. Pertama, menentukan parameter dan indikator yang akan dinilai, yang mengacu kepada kekhasan Provinsi Kalimantan Selatan. Kedua, penentuan metodologi penilaian yang mengacu kepada tingkat keberhasilan otonomi daerah, yaitu; hasil-hasil pembangunan (Data Existing), kepuasan masyarakat (Survey Publik), dan munculnya inovasi baru (Program Unggulan).

Gambar 2. Metode Monev JPIP untuk Mengungkapkan keberhasilan Otonomi Daerah

1.      Parameter dan Indikator

Monev Otonomi Daerah JPIP dilakukan terhadap lima parameter, yang terdiri  dari 3 (tiga) parameter utama dan 2 (dua) paramater khusus. Peramater utama terdiri dari;
a)      Pembangunan ekonomi, dengan indikator; pertumbuhan ekonomi, pemerataan, dan pemberdayaan ekonomi
b)      Pelayanan publik, dengan indikator; pelayanan pendidikan, kesehatan, administrasi, dan penyediaan sarana prasarana umum
c)      Performa politik, dengan indikator; partisipasi publik, pelembagaan politik, dan akuntabilitas publik.

Sedangkan parameter khusus adalah; 1) kemiskinan dan 2) pengelolaan lingkungan hidup.


2.      Metode Monev

JPIP menggunakan tiga metode Monev, yaitu dengan analisis dokumen daerah (Data Existing), survei persepsi publik (Survey Publik), danwawancara mendalam (indepth interview). Ketiga metode telah dilaksanakan secara konsisten dari tahun ke tahun di JPIP Area Kaltim, dan juga diterapkan pada JPIP Area Kalsel pada tahun prtama ini. Berbagai pengalaman yang ditemukan di lapangan memberikan pelajaran berharga untuk penyempurnaan metodologi dari tahun ke tahun.
a.      Analisis dokumen (Existing Data)
Analisis dokumen dilakukan dengan mencermati dokumen-dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah. Dokumen-dokumen itu bisa berupa APBD, Renstra, Arah Kebijakan Umum (AKU), Repetada, Perda, sampai dengan penerbitan-penerbitan khusus berupa brosur dan leaflet promosi daerah. Data Existing yang dikumpulkan dari 13 kab/kota adalah data dari tahun 2005 – 2011.
b.      Survey Publik.
Serangkaian kuesioner disebarkan kepada masyarakat terpilih yang dianggap well informed atau mengetahui banyak informasi tentang kinerja pemerintah daerah dimana ia tinggal. Masyarakat daerah merupakan pihak yang merasakan langsung dampak dan kualitas pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah daerah. Karena itu, jawaban masyarakat merupakan jawaban paling otentik bagi penilaian kinerja pemerintah daerah. Ia sekaligus menjadi sarana verifikasi program-program yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah.
c.       Wawancara mendalam (indepth interview).
Metode ini dilakukan untuk menggali informasi secara lebih komprehensif. Beberapa informan kunci (key informan) daerah menjadi target wawancara. Mulai dari bupati/walikota, sekda, kepala dinas, kepala badan, dan kepala kantor. Biasanya, informan kunci akan membeberkan inovasi atau terobosan yang dilakukan pemerintah kabupaten/kota. Peneliti JPIP akan terus melakukan penggalian informasi secara lebih detail dan terfokus (probing) sampai diperoleh informasi yang komprehensif mengenai inovasi yang dibuat oleh pemerintah kabupaten/kota.



C.      Tingkat Keberhasilan Implementasi Otonomi Daerah
di Provinsi Kalimantan Selatan
JPIP Area Kalsel sejatinya menilai tingkat keberhasilan otonomi daerah di 13 kabupaten/kota di Kalimantan Selatan, karena amanat Undang-undang menyebutkan bahwa pelaksanaan otonomi daerah adalah di kabupaten/kota. Dengan demikian, tingkat keberhasilan otonomi daerah di kabupaten/kota adalah refleksi dari tingkat keberhasilan otonomi daerah di Provinsi Kalimantan Selatan.
1.      Hasil-hasil Pembangunan
Hasil pembangunan dinilai dari data sekunder setiap kabupaten/kota (data existing), dalam kurun waktu 2005-2011. Nilai rata-rata positif memiliki arti terdapat progress (kemajuan), sebaliknya jika negatif berarti terjadi penurunan untuk indikator yang dinilai.

Gambar 3, Grafik Hasil Pembangunan (Data Existing)

a.      Parameter Pembangunan Ekonomi
Indikator pembangunan ekonomi yang dinilai JPIP adalah pertumbuhan ekonomi, pemerataan, dan pemberdayaan ekonomi.



Tabel 1    Hasil Penilaian Data Existing Parameter Pembangunan Ekonomi
Indikator
Hasil Penilaian (Jumlah Kab/Kota)
<
>
Pertumbuhan Ekonomi
6 (46%)
73,73
7 (54%)
Pemerataan Ekonomi
6 (46%)
73.72
7 (54%)
Pemberdayaan Ekonomi
6 (46%)
74,91
7 (54%)




Sumber: JPIP, 2012.
Tabel 1 menunjukkan bahwa indikator Pemberdayaan Ekonomi Lokal adalah indikator yang menonjol tingkat kemajuannya (rata-rata 74,91), walaupun bila dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan Ekonomi yang masing-masing rata-ratanya adalah 73,73 dan 73,72 tidak terlalu jauh perbedaan tingkat kemajuannya. Dilihat dari rata-rata ini ternyata dari 13 kab/kota baik pada indikator pertumbuhan, pemerataan maupun pemberdayaan ekonomi, ada 6 (46%) kab/kota berada dibawah rata-rata kab/kota dan 7 (54%) kab/kota berada diatas rata-rata kab/kota.
Ini artinya bahwa ketiga indikator ini dari 13 kab/kota tingkat kemajuannya masih dominan diatas rata-rata yaitu sebanyak (7 daerah) 54%. Dan masih ada dibawah rata-rata yaitu 6 daerah (46%), Walaupun sebenarnya kemajuan ini bisa disebut lebih merata pada setiap daerah.
b.      Parameter Pelayanan Publik
Indikator pelayanan publik yang dinilai JPIP adalah pelayanan pendidikan, pelayanan kesehatan, dan pelayanan administrasi.
Tabel 2    Hasil Penilaian Data Existing Parameter Pelayanan Publik
Indikator
Hasil Penilaian
<
>
Pelayanan Pendidikan
6 (46%)
70,63
      7 (54%)
Pelayanan Kesehatan
7 (54%)
73,82
6 (46%)
Pelayanan Administrasi
6 (46%)
70,46
7 (54%)
Sarana dan Prasarana
8 (62%)
68,22
5 (38%)
Sumber: JPIP, 2012.
Tabel 2 menunjukkan bahwa indikator Pelayanan Kesehatan adalah indikator yang paling tinggi tingkat kemajuannya (rata-rata 73,82),  yang masih dibawah rata-rata sebanyak 7 daerah (54%). Sedangkan untuk pendidikan dan pelayanan administrasi publik masing-masing ada 7 daerah (54%) berada diatas rata-rata.
Hal ini menunjukan bahwa pelayanan kesehatan kemajuannya masih rendah pada 7 daerah (54%), sedangkan pelayanan pendidikan dan pelayanan administrasi publik sudah menunjukan kemajuan terbanyak yaitu 7 daerah (54%). Berbeda dengan sarana prasarana rata-rata tingkat kemajuannya adalah 68,22, dimana ada 8 daerah (62%) masih dibawah rata-rata kemajuannya, hanya 5 (38%) yang berada diatas rata-rata.
Hasil ini menunjukkan bahwa tingkat kemajuan pelayanan pendidikan, kesehatan, dan administrasi publik tingkat kemajuannya lebih merata pada setiap daerah, kecuali pada sarana dan prasarana tingkat kemajuannya tidak merata, lebih banyak daerah yang masih dibawah rata-rata.

c.       Parameter Khusus
Indikator parameter khusus yang dinilai JPIP adalah pengelolan lingkungan hidup dan pengentasan kemiskinan.
Tabel 3    Hasil Penilaian Data Existing Parameter Khusus
Indikator
Hasil Penilaian
<
>
Pengelolaan Lingk. Hidup
8 (62%)
69,37
5 (38%)
Pengentasan Kemiskinan
7 (54%)
65,12
6 (46%)
Sumber: JPIP, 2012.
Tabel 3 menunjukkan bahwa indikator Lingkungan Hidup adalah tingkat kemajuannya rata-rata 69,37, namun dalam pemerataan kemajuannya tidak merata dimana masih dominan dibawah rata-rata yaitu sebanyak 62% atau masih ada 8 daerah yang dibawah rata-rata. Sedangkan untuk indikator Pengentasan Kemiskinan, rata-rata kemajuannya 65,12, dimana persentase jumlah kabupaten/kota, masih berada pada kelompok dengan kemajuan di bawah  rata-rata (54%), namun tingkat kemajuannya lebih merata pada tiap daerah Hasil penilaian ini mencerminkan bahwa kemajuan pengentasan kemiskinan tidak setinggi Pengelolaan Lingkungan Hidup, namun lebih merata untuk setiap daerah.
Jadi berdasarkan hasil data existing dari semua indikator, maka seluruh indikator yang ada semuanya mengalami kemajuan walaupun memang ada beberapa daerah yang kemajuannya masih dibawah rata-rata masing-masing indikator.

2.      Tingkat Kepuasan Masyarakat
Kepuasan masyarakat diukur dengan seperangkat kuesioner yang berisi pertanyaan sesuai dengan parameter dan indikator JPIP. Responden sebanyak 100 orang per kabupeten/kota dipilih secara acak, yang mewakili sembilan kelompok masyarakat (non PNS).Persepsi masyarakat tentang kepuasan terhadap kinerja pemerintah daerah berkisar antara 0 – 100, dengan titik tengah 50, yang berarti cukup.

Tabel 4.  Skor Akhir Persepsi Masyarakat terhadap Kinerja Pemerintah Daerah (Kabupaten/Kota)
Indikator Penilaian
Hasil Penilaian (Kabupaten/Kota)
<
>
Pertumbuhan Ekonomi
5 (38%)
63.71
8 (62%)
Pemerataan
6 (46%)
61.65
7 (54%)
Pemberdayaan Ekonomi Lokal
6 (46%)
61.50
7 (54%)
Pelayanan Pendidikan
6 (46%)
52.27
7 (54%)
Pelayanan Kesehatan
3 (23%)
45.92
10 (77%)
Pelayanan Administrasi
6 (46%)
62.19
7 (54%)
Penyediaan Sarana Dan Prasarana
6 (46%)
60.72
7 (54%)
Partisipasi Politik Publik
3 (23%)
58.53
10 (77%)
Akuntabilitas Publik
7 (54%)
57.88
6 (46%)
Kelembagaan  Politik
5 (46%)
51.62
7 (54%)
Pengelolaan Lingkungan Hidup
6 (46%)
63.43
7 (54%)
Pengentasan Kemiskinan
8 (62%)
54.95
5 (38%)
Rata-rata Seluruh Indikator

52,02

n = 1300 Responden
Sumber: JPIP Area Kalsel, 2011.
Tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah umumnya secara keseluruhan relatif cukup dengan skor 52,02, karena  masih berada diatas 50%. Adapun Indikator yang berada diatas rata-rata tingkat kepuasan masyarakat hampir semua indikator kecuali indikator pelayanan kesehatan (45,92) dan kelembagaan politik (51,62)
Meski persepsi publik telah menyebutkan nilai rata-rata 52,02, namun masih terdapat kabupaten/kota yang memperoleh nilai lebih rendah dari nilai rata-rata masing-masing indikator untuk beberapa indikator tertentu. Indikator Pengentasan Kemiskinan ada 8 (62%) daerah yang berada dibawah nilai rata-rata Kab/Kota; Sedangkan untuk indikator pertumbuhan dominan ada 8 daerah (62%) dan partisipasi publik ada 10 daerah (77%) berada diatas rata-rata kab/kota. Sedangkan indikator lainnya hampir merata tingkat kepuasan masyarakat, kecuali indikator pengentasan kemiskinan walaupun diatas rata-rata keseluruhan namun ada 8 daerah (62%) berada dibawah rata-rata kabupaten kota.
Sedangkan pelayanan kesehatan tingkat kepuasannya dibawah rata-rata keseluruhan, namun dilihat dari rata-rata kab/kota masih tinggi tingkat kepuasannya masyarakatnya, yaitu ada 10 daerah (77%) hanya ada 3 daerah (23%) yang berada dibawah rata-rata.

3.      (Inovasi
IInovasi tertuang dalam program unggulan pemerintah kabupaten/kota yang diusulkan untuk dinilai oleh team penilai JPIP.

Tabel 5      Distribusi Program Inovasi Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Selatan 2011
Indikator Penilaian
Mutu Inovasi
Tidak Mengajukan Program
Program Turunan
Program Sendiri
f
%
F
%
F
%
Pertumbuhan Ekonomi
0
0
8
62%
5
38%
Pemerataan Ekonomi                 
0
0
7
54%
6
46%
Pemberdayaan Ekonomi Lokal
0
0
8
62%
5
38%
Pelayanan Pendidikan
0
0
7
54%
6
46%
Pelayanan Kesehatan
0
0
11
85%
2
15%
Pelayanan Administrasi
0
0
10
77%
3
23%
Penyediaan Sarana Dan Prasarana
0
0
5
38%
8
62%
Partisipasi Politik Publik
0
0
5
38%
8
62%
Akuntabilitas Publik
0
0
7
54%
6
46%
Pelembagaan Politik
0
0
8
62%
5
38%
Pengelolaan Lingkungan Hidup
0
0
7
54%
6
46%
Pengentasan Kemiskinan
0
0
6
46%
7
54%
Rata-rata
0
0
7
57%
6
43%
Sumber: JPIP, 2011
Sebuah program yang sarat inovasi menurut persepsi JPIP adalah program yang memenuhi kriteria;
a.      Ide program berasal dari pemerintah daerah sendiri (genuine), dan bukan program lanjutan atau turunan dari pemerintah pusat atau provinsi. Jika program turunan, maka program tersebut harus mampu menunjukkan kelebihan dan kekhasan dibandingkan program sejenis dari daerah lain.
b.      Program sederhana dan efisien namun efektif sehingga dapat diimplementasikan oleh sumberdaya yang ada, dan memberi peluang keterlibatan masyarakat secara luas.
c.       Memiliki payung hukum lokal (perda, perbup/perwal, SK SKPD,dll), namun tidak bertentangan dengan peraturan perundangan di atasnya.
d.      Memiliki Standard Operating Procedure (SOP) dan pengelola yang jelas.
e.      Memiliki dampak jangka pendek dan jangka panjang, sehingga memungkinkan inovasi baru (proliferasi) dan berkesinambungan (sustainable)
Mengacu pada kriteria inovasi versi JPIP, dan mencermati program unggulan yang diusulkan daerah untuk dinilai JPIP (Tabel 5), maka terlihat bahwa kabupaten/kota di Kalimantan Selatan masih lemah dalam penumbuhan inovasi program. Tercatat, mayoritas program yang diusulkan daerah adalah program turunan dari pusat atau provinsi (57%) Hanya 43% kabupaten/kota yang telah mampu mengkreasi program-program inovatif. Meskipun demikian, daerah patut diberikan apresiasi untuk indikator penyediaan sarana dan prasarana (8 daerah), dan partisipasi politik publik (8 daerah) serta pengentasan kemiskinan (7 daerah).
Untuk penilaian program unggulan masing-masing indikator bisa dinilai atau tidak, didasarkan atas kelengkapan berkas yang diusulkan oleh kab/kota. Adapun kelengkaptan berkas yang dimaksud antara lain;
-       Adanya usulan program, yang berisi antara lain;
-       Diskripsi program
-       Payung hukum
-       Pengelola program
-       Petunjuk teknis
-       Dampak program
-       Penghargaan (bila ada)
 Apabila semua berkas usulan program lengkap maka termasuk kriteria A1; bila kelengkapan berkas usulan program hanya terpenuhi 4 (empat) maka termasuk criteria A2; bila kelengkapan berkas usulan program hanya terpenuhi 3 (tiga) maka termasuk kriteria B1; dan apabila kelengkapan berkas usulan program hanya terpenuhi 2 (dua) maka termasuk criteria B2.
Usulan program bisa diteruskan untuk dinilai apabila termasuk kriteria A1 dan A2.
Berdasarkan hasil telalaahan berkas masing-masing indikator dari seluruh kab/kota, terlihat pada tabel 6.




Tabel 6. Hasil Telaahan Berkas Usulan Program yang memenuhi syarat untuk dinilai berdasarkan masing-masing Indikator
Indikator
Kelengkapan Berkas
A1
A2
B1
B2
Pertumbuhan Ekonomi
9 (69,23)
-
2 (15,38)
2 (15,38)
Pemerataan Ekonomi
9 (69,23)
1 (7,69)
-
3 (23,08)
Pemberdayaan Ekonomi
8 (61,54)
-
2 (15,38)
2 (15,38)
Pelayanan Pendidikan
8 (61,54)
-
3 (23,08)
2 (15,38)
Pelayanan Kesehatan
11 (84,62)
-
-
2 (15,38)
Pelayanan Administrasi
10 (76,92)
1 (7,69)
1 (7,69)
1 (7,69)
Penyediaan Sarana & Prasarana
7 (53,85)
-
2 (15,38)
4 (30,77)
Partisipasi Publik
11 (84,62)
1 (7,69)
-
1  (7,69)
Akuntabilitas Publik
6 (46,15)
-
4 (30,77)
3 (23,08)
Kelembagaan Politik
8 (61,54)
1 (7,69)
-
4 (30,77)
Lingkungan Hidup
9 (69,23)
-
2 (15,38)
1 (7,69)
Pengentasan Kemiskinan
7 (53,85)
-
1 (7,69)
5 (38,46)
Rata-Rata
66,03
2,56
10,90
20,51

Dilihat dari tabel 6 Usulan program yang diajukan oleh kab/kota dari seluruh indikator (12 indikator) yang layak untuk diterus atau dinilai berdasarkan kelengkapan berkas usulan program rata-rata hanya 68,59% (A1+A2), sedangkan sebanyak  31,41% tidak bisa diteruskan untuk dinilai hal ini disebabkan dalam usulan program yang diajukan tidak memenuhi syarat. Misalnya tidak ada mencantumkan payung hukum, pengelolanya dan SOPnya.
Adapun apabila dilihat dari masing-masing indikator maka yang terbanyak untuk bisa dinilai atau bersaing adalah indikator pelayanan kesehatan dan partisipasi publik karena hampir semua semua kab/kota memenuhi syarat untuk dinilai yaitu  11 kab/kota atau (84,62%), disusul untuk indikator administrsi publik 10 kab/kota (76,92), pertumbuhan ekonomi, pemerataan dan lingkungan hidup 9 kab/kota dan yang paling sedikit adalah indikator akuntabilitas public hanya 6 kab/kota (46,15) yang memenuhi syarat penilaian untuk inovasi.
D.     Faktor Pendorong dan Penghambat

Mengacu pada hasil monev yang dilakukan JPIP, maka implementasi otonomi daerah di Kalimantan Selatan harus tetap dipacu. Meskipun demikian arah perkembangan otonomi daerah sudah berjalan pada relnya (on the track). Data existing hasil-hasil pembangunan akselerasinya relatif sudah cukup baik, Namun masih ada daerah yang tidak lengkap berkaitan dengan data-data hasil pembangunan (data existing). Demikian pula pada survey publik relatif dapat diterima oleh masyarakat. Jika dikomparasi penilaian kemajuan hasil-hasil pembangunan dengan tingkat kepuasan masyarakat serta program inovasi yang digagas oleh pemerintah kabupaten/kota, maka terdapat pola dan kecenderungan sebagai berikut;












Gambar 4.
Komparasi Kecenderungan Komponen Keberhasilan Otonomi Darah
Gambar 4 memvisualisasikan bahwa pembangunan yang tinggi baik dari hasil maupun tingkat kepuasan masyarakat, diduga kuat berasal dari program-program
inovasi yang digagas sendiri oleh pemerintah kabupaten/ kota. Inovasi program, relatif banyak frekuensinya pada indikator-indikator pertumbuhan ekonomi, Pemerartaan, Pemberdayaan, Pelayaan pendidikan, Kesehatan, pelayanan Administrasi dan Partisipasi publik,  dan hasil pembangunan tertinggi tingkat kemajuannya adalah pada indikator pemberdayaan ekonomi, pertumbuhan dan pemerataan, pelayanan pendidikan dan kesehatan. Komponen inovasi program dan hasil pembangunan tertinggi inilah, yang kemungkinan terbesar memicu persepsi masyarakat untuk mengapresiasi kinerja pemerintah daerah pada indikator pemberdayaan ekonomi, pertumbuhan dan pemerataan dan pelayanan pendidikan. Sedikit berbeda dengan kepuasan masyarakat pada indikator pelayanan kesehatan yang persepsi masyarakat masih rendah, hal ini terkait dengan pelayanan terhadap masyarakat secara langsung masih lemah khususnya dalam hal SDM, walaupun hasil pembangunan dan inovasinya sudah cukup tinggi.
Berdasarkan catatan JPIP, selain faktor utama di atas, terdapat beberapa faktor lainnya yang diduga dapat mendorong peningkatan keberhasilan implementasi otonomi di daerah Kalimantan,  Selatan antaranya;
a.      Antusiasme dan motivasi daerah yang cukup tinggi untuk membangun daerahnya, termasuk pola “rewards” yang dilakukan JPIP melalui “otonomi Award”, atau “panji-panji” yang telah dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan. Langkah-langkah JPIP dan Pemprov Selatan dapat mendorong suasana kompetisi antar kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Selatan.
b.      APBD relatif mencukupi untuk pembiayaan pembangunan, meski PAD tetap harus dipacu. Optimalisasi PAD harus terus dilakukan, mengingat salah satu semangat otonomi daerah adalah kemandirian. Di samping itu,Isu-isu strategis yang menglobal, seperti anggaran pendidikan 20% dari APBD, pengentasan kemiskinanyang lebih terpadu, juga menjadi faktor pendorong implementasi otonomi daerah secara lebih optimal.
c.       Mulai bergesernya paradigma pembangunan pola lama yang lebih mengedepankan pembangunan fisik, menjadi pembangunan yang lebih seimbang antara pembangunan fisik dan nonfisik. Di samping itu, kesadaran daerah yang mulai tumbuh akan pentingnya partisipasi dan keterlibatan stakeholder dalam pembangunan. Misalnya dengan semakin tereksplorasinya saluran aspirasi dari masyarakat melalui kegiatan musrenbang sebagai salah satu sumber informasi dalam menuju masyarakat welfare state
d.      Peran LSM dan masyarakat sebagai media kontrol kebijakan pemerintah juga cukup efektif untuk mendorong keberpihakan pemerintah kepada rakyat kecil atau kaum marjinal. Di antaranya yang cukup dominan dilakukan pemerintah adalah dengan lebih mengefisienkan belanja aparatur dalam APBD.
e.      Adanya pengakuan dari beberapa daerah tentang lemahnya administrasi data (data existing). Sehingga dengan adanya JPIP memberikan semangat bagi mereka untuk memperkuat administrasi data  dan pembuatan program inovasi.

Selain beberapa faktor pendorong, terdapat juga faktor-faktor yang dapat menghambat pelaksanaan otonomi daerah kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Selatan, yaitu:
a.      Persepsi daerah yang masih dominan menganggap bahwa program yang baik adalah program berbiaya mahal, berteknologi tinggi dan berasal dari luar, serta kurang menghargai ide dan kreatifitas dari dalam. Akibatnya adalah relatif masih rendahnya frekuensi dan mutu inovasi yang digagas oleh kabupaten/kota.
b.      Inovasi yang dibuat masih ada yang belum memperkuat payung hukum, pengelola, dan SOP, padahal hal ini sangat penting demi keberlangsungan program tersebut.
c.       Regulasi (terutama dari pusat) yang belum mendukung dan cenderung mematikan inovasi daerah. Sebuah kreasi daerah sering dianggap berbenturan dengan aturan di atasnya, sehingga muncul sikap apatis daerah atau bahkan “fobia” pada dampak hukum yang ditimbulkan atas kreatifitas yang digagas.
d.      Adanya SKPD didaerah yang belum memahami pentingnya program unggulan asli dan hanya mengandalkan program turunan dari pusat atau provinsi dengan alasan dana.
e.      Adanya ego terhadap SKPD masing-masing atau masih lemahnya kerjasama unit (SKPD) dalam membuat program pembangunan yang seharusnya bisa dilakukan secara bersama-sama.
f.        Keterbatasan data eksisting dan disiplin dalam administrasi data terhadap proses dan hasil pembangunan di daerah.
g.      Masih lemahnya sosisalisasi program pembangunan terhadap masyarakat sehingga respek masyarakat terhadap beberapa program pembangunan yang dicanangkan oleh daerah menjadi lemah.
h.      Kapasitas sumberdaya aparatur sebenarnya cukup baik, namun di beberapa daerah kelemahan utama adalah pada penempatan sumberdaya aparatur yang masih belum disesuaikan dengan bidang dan keahlian aparatur yang bersangkutan, hal terlihat pada saat pembuatan program unggulan
i.        Pelibatan sektor swasta dalam pembangunan fisik maupun non fisik di kabupaten dan kota belum dilakukan secara sinergis dan terprogram. Yang terjadi hanya pada beberapa daerah khususnya yang memiliki potensi pada sektor pertambangan.

Kesimpulan
1.      Program unggulan yang diusulkan terlihat bahwa kabupaten/kota di Kalimantan Selatan masih lemah dalam penumbuhan inovasi program. Tercatat, mayoritas program yang diusulkan daerah adalah program turunan dari pusat atau provinsi (57%) Hanya 43% kabupaten/kota yang telah mampu mengkreasi program-program inovatif
2.      Pemerintah daerah umumnya sudah dapat menjalankan program pembangunan yang menjadi turunan dari pemerintah pusat dan pemerintah provinsi dengan baik namun masih lemah dalam genuine (program asli dan kekhasan local/daerah)
3.      pembangunan yang tinggi baik dari hasil maupun tingkat kepuasan masyarakat, diduga kuat berasal dari program-program inovasi yang digagas sendiri oleh pemerintah kabupaten/ kota
4.      Data eksisting ((hasil pembangunan) yang dimiliki masih belum seragam dan masih belum lengkap baik berdasarkan time series maupun dalam pemenuhan kebutuhan untuk analisis pembangunan

Rekomendasi
1.      Perlu adanya pemahaman dan jaminan peraturan tentang pembuatan program unggulan daerah yang tidak selalu mengacu pada program turunan pusat atau provinsi.
2.      Perlunya peningkatan sumber daya manusia aparat daerah yang mampu menangkap inovasi, kreatifitas, genuine dan sustainable untuk menterjemahkan program dari pusat dan provinsi sehingga dapat mendorong pembangunan di daerah.
3.      Perlunya peningkatan kualitas inovasi yang langsung bersentuhan dengan kepentingan masyarakat daerah masing-masing.
4.      Pemerintah daerah harus lebih memberikan perhatian terhadap sistem pengumpulan data existing dari setiap SKPD yang ada sehingga data tersedia pada satu tempat selain selain di SKPD bersangkutan.




The Jawa Post Institute of Pro Otonomy (JPIP) Area Kalsel
Banjarmasin,

















[1] Disampaikan dalam Lokakarya Otonomi Daerah Provinsi Kalimantan Selatan diBanjarmasin, 27 Juni 2012